Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki
ciri khas kebudayan, yang sekaligus menjadi suatu kebanggaan mereka. Mereka akan
betingkah laku sejalan dengan norma-norma dan nilai-nilai yang terkandung dan
tersirat dalam kebudayaan tersebut yang telah mereka lakukan sebagai kebudayaan
yang dilakukan turun temurun.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa
menimbulkan salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan
yang ketat terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana
pandangan tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok
sosial di dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu
menilai suatu budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan
menggiring kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah pandangan-pandangan
yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau belum beradab, jika
dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap
kelompok sosial sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan
in-groupnya yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari
masing-masing kelompok sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya
menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan pihak
yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian, tampaknya lebih tepat
apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat sebagai gejala deviasi atau
penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila persoalan etnosentrisme
menjadi agenda utama pemerintah guna menciptakan integrasi bangsa secara
nasional.
Etnosentrisme sendiri mempunyai pengertian sikap atau
pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya
disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan
lain. Etnosentrisme bisa diartikan sebagai suatu kecendrungan yang menganggap
nilai - nilai dan norma - norma kebudayaannya sendiri dengan suatu yang prima,
terbaik, mutlak dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilai dan
membedakannya dengan kebudayaan lain. Dalam sumber lain mengatakan Etnosentrisme
adalah sikap yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut pandangnya
sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain. Orang-orang
etnosentris menilai kelompok lain relatif rendah dibandingkan kelompok atau kebudayaannya sendiri, khususnya
bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama.
Sebagai contoh, (maaf) misalkan ada orang dari
luar Jogja yang kebetulan bertamu di daerah Jogja, lalu ia makan sambil ngomong
dan berdiri atau jalan mondar-mandir. Orang Jogja yang cenderung bersikap
etnosentrisme berlebih-lebihan mungkin akan langsung menghujat tamu dari luar
daerah tadi yang dirasa berseberangan terhadap budaya masyarakat Jogja. Namun
bagi masyarakat yang memiliki sikap fleksibel , tentu akan dengan mudah
memahami perbedaan budaya pada individu/kelompok/daerah lain.
Etnosentrisme sendiri bisa dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1.
etnosentrisme
fleksibel.
Cara pandang
ini mencoba meletakkan etnosentrisme secara tepat dan dalam menafsirkan
perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Singkat kata, sikap
ini adalah perwujudan sikap kebanggan terhadap budaya asal tetapi masih mengindahkan
keberadaan budaya lain.
2.
etnosentrisme
infleksibel, sikap ini hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang
dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar
belakang budayanya.
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk
memandang bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama
sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal
ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme
fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara
masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok
sosial lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita
juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas,
dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme
dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran
kelompok-kelompok sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap
berlangsung sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak
hilang karakteristisnya.
Kini bukan lagi saatnya menonjolkan ke-aku-an,
ke-suku-an, ataupun ke-kami-an. Bukan pula waktunya
mengungul-unggulkan kesukuannya/kelompoknya/daerahnya sendiri. Katakan dengan
lantang “KITA ini bangsa INDONESIA. KITA siap bersatu-padu, berbakti dan
mengabdi untuk kemajuan dan kejayaan NKRI. Tanpa menonjolkan individu, kelompok
ataupun kedaerahan. KITA semua sama setara, tidak ada yang lebih rendah ataupun
remeh! KITA siap mengawal NKRI dengan segenap jiwa raga KITA, bangsa Indonesia
!”
refrensi:
0 comments:
Posting Komentar