Tentang Film "Perempuan Berkalung Sorban"
Perempuan
Berkalung Sorban (internasional:Woman with a Turban) merupakan film drama romantis bertema Islam dari Indonesia yang
dirilis pada tahun 2009 dan disutradarai oleh Hanung
Bramantyo. Film ini dibintangi antara lain oleh Revalina S.
Temat, Joshua Pandelaki, Nasya Abigail, Widyawati, Oka Antara, Reza Rahadian,
dan Ida Leman.
Film ini didistribusikan oleh Kharisma Starvision Plus dan mulai
diputar secara perdana di bioskop Indonesia tanggal 15 Januari 2009.
Film
ini dibuat berdasarkan novel berjudul sama tahun 2001 yang
ditulis Abidah El Khalieqy,
penulis wanita asal Jombang, Jawa Timur.
Novel tersebut diadaptasikan menjadi sebuah naskah film oleh Ginatri S.
Noer dan Hanung Bramantyo. Film ini menyajikan latar tradisi
sebuah sekolah pesantren di Jawa Timur yang cenderung mempraktikkan
tradisi konservatif terhadap wanita dan kehidupan
modern. Dialog film ini dibawakan dalam bahasa
Indonesia, bahasa Jawa, dan juga terkadang bahasa Arab yang
sering digunakan di sekolah pesantren.
Sinopsis
Film ini berkisah mengenai
perjalanan hidup Anissa (Revalina S. Temat), seorang wanita berkarakter cerdas,
berani, dan berpendirian kuat. Anissa hidup dan dibesarkan dalam lingkungan dan
tradisi Islam konservatif di keluarga Kyai yang mengelola sebuah pesantren
kecil Salafiah putri Al-Huda di Jawa Timur, Indonesia. Dalam
lingkungan dan tradisi konservatif tersebut, ilmu sejati dan benar
hanyalah al-Qur’an, Hadits dan Sunnah, dan buku-buku modern
dianggap sebagai ajaran menyimpang.
Dalam pesantren Salafiah putri
Al-Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan yang harus tunduk pada
laki-laki, sehingga Anissa beranggapan bahwa ajaran Islam hanya membela
laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi sangat lemah dan tidak
seimbang. Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori
(Oka Antara), paman Anissa dari pihak Ibunya yang selalu menemani Anissa,
menghibur sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Anissa. Diam-diam Anissa
menaruh hati pada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori
menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (Joshua
Pandelaki), ayah Anissa, sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori
selalu mencoba menghindari perasaannya pada Anissa. Sampai akhirnya Khudori
melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Anissa yang
mendaftarkan kuliah ke Yogyakarta, Indonesia, dan diterima. Namun
Kyai Hanan tidak mengizinkannya dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika
seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Namun
Anissa bersikeras dan protes kepada ayahnya.
Akhirnya Anissa malah dinikahkan
dengan Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf besar
di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak, tetapi pernikahan itu
dilangsungkan juga. Kenyataannya Samsudin yang berperangai kasar dan ringan
tangan menikah lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi
perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Dalam kiprahnya
itu, Anissa dipertemukan lagi dengan Khudori dan keduanya masih sama-sama
mencintai. Film kemudian menceritakan perjalanan cinta Anissa dan Khudori dan
juga perjuangan Anissa untuk membela hak-hak perempuan muslim di tengan
rintangan keluarga pesantrennya yang konservatif.
Analisis Diskriminasi Gender dalam Film "Perempuan Berkalung Sorban"
1.
Budaya Patriarki
Sebagaimana
sebagian besar masyarakat Indonesia anut dalam berkehidupan sehari-hari. Ddalam
film ini juga begitu kental aka unsur budaya patriarki yang menjadikan
laki-laki sebagai poros peredaran kehidupan. Hubungan patriaeki yang
menempatkan laki-laki sebagai poros utama keluarga berimbas kepada jenis dan
kadar pekerjaan yang dilimpahkan kepada kaum perempuan. Perempuan dalam film Perempuan
Berkalung Sorban digambarkanmemiliki peran yang sudah lumrah disandangkan
oleh pihak laki-lakiyaitu sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga.
Dialog-dialog sepanjang filmmenggambarkan besarnya bias gender yang
terjadi dalam keluarga Kiai Hanan. Di dalam keluarga, Kiai Hanan sebagai subjek
aktif yang terlihat jelas dalam hal-hal seperti pengambilan keputusan, sikap
suami terhadap istri, dan sikap ayah terhadap anak-anaknya.
2.
Kekerasan terhadap perempuan
Bentuk
masyarakat patriarkal sangat memunginkan terjadinya kekerasan terhadap
perempuan. Pada dasarnya kekerasan ini disebabkan oleh penguasaan laki-laki
terhadap perempuan. Dalam hampuir seluruh aspek kehidupan, perempuan didominasi
laki-laki dan ini membuat perempuan rentan menerima kekerasan baik yang
berbentuk fisik maupun psikologis.
Dalam film Perempuan Berkalung Sorban kekerasan
dalam bentuk fisik terjadi, seperti Reza mendorong Syamsuddin karena telah
merendahkan keluarganya, Syamsuddin mencekik Annisa karena istrinya tersebut
menolak untuk diajak berhubungan badan, Annisa menampar Syamsuddin karena telah
melecehkannya. Dan kekerasan psikologis yang diterima Annisa adalah dalam
kata kata verbal.
Dari
keseluruhan data kekerasan, baik fisik maupun psikologis dapat disimpulkan
bahwa diskriminasi sangat berpengaruh pada tindak kekerasan. Ketidakadilan
berakibat pada tindak perlawanan dan pemberontakan. Selain itu, kekerasan yang
muncul karena anggapan bahwa perempuan lemah dan harus menuruti kemauan suami
atau sikap berkuasa terhadap perempuan.
Kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap kaum perempuan sering terjadi karena keinginan untuk melanggenggkan
kekuasaan/ dominasi laki-laki (pro status quo). Dan pada prinsipnya, inilah
refleksi sistem patriarki yang berkembang di masyarakat Indonesia.
3.
Diskriminasi pendidikan
Dalam
film tersebut ditayangkan bahwa Annisa mengalami kesulitan untuk dapat memenuhi
hasrat intelektualnya. Annisa dilarang oleh ayahnya untuk dapat meneruskan
jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi. Hal tersebut disebabkan karena
Annisa adalah seorang perempuan. Sedangkan kakak-kakak Annisa yang berjenis
kelamin Laki-laki dengan mulusnya mendapatkan izin dari Ayah mereka untuk bisa
meneruskan sekolah keluar pesantren.
4.
Pernikahan.
Bersambung
dengan poin ketiga, tidak berhenti sampai larangan sekolah. Selanjutnya, Anissa
justru dijodohkan, bahkan seolah dipaksa untuk menikah dengan anak dari teman
ayahnya yang juga sama-sama kiyai, yaitu Samsudin. Dalam masalah hatinya,
Anissa sebenaranya telah mencintai laki-laki lain, yakni Lek Khudori. Namun,
perbedaan status sosial bagi Khudori yang bukan anak kiyai, membuat jarak tali
percintaan Anissa dan Khudori menjadi sulit ditautkan. Dan pilihan hati Anissa
seolah jadi hak prerogratif ayahnya sebagai seorang lelaki yang memiliki
komando penuh atas armada keluarganya. Bahkan ibunya sebagai perempuan yang
memiliki sedikit hak biacara pun tak mampu menghalangi niat ayah Anissa. Lantas
takdir dalam film tersebut menghantarkan Anissa untuk melalui kehidupan bersama
dengan Samsudin terlebih dahulu, yang kemudian justru menitikan perih di hati
Anissa sebab Samsudin berpoligami dengan cara yang tidak adil (tidak sesuai
dengan syaria’t Islam). Dalam poin ini, direpresentasikan dalam film tersebut
bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk memilih dan harus mau menerima
berbagai keputusan laki-laki tanpa kompromi.
5.
Diskriminasi sosial.
Dalam
film, Anissa dilarang oleh ayahnya untuk menunggang kuda. Menunggang kuda hanya
diperbolehkan bagi lelaki. Padahal, sebagai informasi, dalam Islam tidak ada
pelarangan bagi wanita untuk menunggang kuda atau semacamnya.
Selain
itu ketidakadilan yang Annisa dapat adalah, ia tidak bisa menjadi pemimpin
karena perempuan dianggap sebagai kaum yang irrasional, yang lebih mementingkan
perasaan dibanding dengan logika, dan politik sangat berat dan perempuan tidak
akan mampu menanggungnya karena akal dan tenaganya memang lemah.
Selain
masalah kepemimpinan, dalam film ini juga terdapat keterbatasan perempuan dalam
mengeluarkan pendapat seperti ketika Annisa mengikuti pengajian Kiai Ali dan
ketika Annisa menyampaikan ide kepada pihak pesantren mengenai rencananya membangun
perpustakaan. Ide dan gagasan Annisa dianggap mengada-ada, ia –perempuan–
seolah sosok yang kurang akal dan agamanya dan tidak rasional dalam mengambil
keputusan.
Gerakan Persamaan Gender
dan Feminisme
Dari
diskriminasi yang diterima Annisa sebagai perempuan pada dasarnya merupakan
repleksi kehidupan nyata dalam masyarakat kita sehari-hari. Hal itu yang
akhirnya membawa perempua untuk memperjuangkan hak-haknya atau yang lebih
sering kita kenal dengan “Persamaan Gender” atau gerakan “Feminisme”.
Feminis
khususnya masalah-masalah mengenai wanita, pada umumnya dikaitkan dengan
emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum
laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya
pada umumnya. Kondisi-kondisi fisik wanita yang lebih lemah secara alamiah
hendaknya tidak digunakan sebagai alasan untuk menempatkan kaum wanita dalam
posisinya yang lebih rendah. Pekerjaan wanita selalu dikaitkan dengan
memelihara, pria selalu dikaitkan dengan bekerja. Pria memiliki kekuatan untuk
menaklukkan, mengadakan ekspansi, dan bersifat agresif. Perbedaan fisik yang
diterima sejak lahir kemudian diperkuat dengan hegemoni struktur kebudayaan,
adat istiadat, tradisi, pendidikan, dan sebagainya. Perbedaan biologis tidak
dengan sendirinya menentukan perbedaan kecerdesan. Menurut berbagai percobaan
pada dasarnya laki-laki tidak lebih cerdas dibandingkan dengan perempuan.
Anak-anak perempuan di bawah usia tujuh tahun justru memiliki IQ yang lebih
tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki.
Annisa
berhasil meyakinkan semua para penghuni pesantren bahwa membaca buku modern
tidak akan membuat perempuan keluar dari kodratnya, dengan membaca kita akan
tahu bagaimana dunia luar. Annisa juga mengajarkan para santrinya untuk
menulis, dengan menulis kita bisa mengeluarkan pendapat kita dari sisi pandang
perempuan. Perjuangan Annisa tidak sia-sia dia berhasil mewujudkan impiannya,
kebebasan perempuan dan kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki sedikit
demi sedikit mulai terwujud.
Sumber:
0 comments:
Posting Komentar